Kamis, 07 Maret 2013

SAJAK MATA-MATA


Oleh :  W.S. Rendra

Ada suara bising di bawah tanah. 
Ada suara gaduh di atas tanah. 
Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah. 
Ada tangis tak menentu di tengah sawah. 
Dan, lho, ini di belakang saya 
ada tentara marah-marah.
Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar. 
Aku melihat isyarat-isyarat.
 
Semua tidak jelas maknanya.
 
Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,
 
menggangu pemandanganku.
Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Pendengaran dan penglihatan 
menyesakkan perasaan,
 
membuat keresahan –
 
Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi
 
terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
 
Aku tak tahu. Kamu tak tahu.
 
Tak ada yang tahu.
Betapa kita akan tahu, 
kalau koran-koran ditekan sensor,
 
dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.
 
Koran-koran adalah penerusan mata kita.
 
Kini sudah diganti mata yang resmi.
 
Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.
 
Kita hanya diberi gambara model keadaan
 
yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.
Mata rakyat sudah dicabut. 
Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
 
Mata pemerintah juga diancam bencana.
 
Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
 
Terasing di belakang meja kekuasaan.
 
Mata pemerintah yang sejati
 
sudah diganti mata-mata.
Barisan mata-mata mahal biayanya. 
Banyak makannya.
 
Sukar diaturnya.
 
Sedangkan laporannya
 
mirp pandangan mata kuda kereta
 
yang dibatasi tudung mata.
Dalam pandangan yang kabur, 
semua orang marah-marah.
 
Rakyat marah, pemerinta marah,
 
semua marah lantara tidak punya mata.
 
Semua mata sudah disabotir.
 
Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.
Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978 
Potret Pembangunan dalam Puisi
(http://zhuldyn.wordpress.com)

0 comment: