Dalam artikel sebelumnya, telah disebutkan delapan kategori org yang berhak menerima zakat. Yang menjadi bahasan kali ini adalah, apakah para pengemis itu masuk dalam kategori orang yang berhak menerima zakat?
Sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa dalam Islam, aktivitas mengemis
merupakan hal yang sangat hina dan dikecam. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwa dalam Islam,
diajarkan agar kaum muslimin menjadi manusia-manusia yang produktif dan
menjaga kehormatan dirinya. Oleh karena itu, lebih baik seseorang jadi
kuli, yang bekerja keras untuk mendapatkan pendapatan, daripada menjadi
peminta-minta. Ini lebih cool dan terhormat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.”
(HR. Bukhari)
Realita
Secara umum, masyarakat memandang pengemis
adalah termasuk kaum fakir atau miskin. Namun, apakah layak seorang
dikatakan fakir jika ia mampu membangun rumah berlantai keramik dan
berparabola? Apakah layak dikatakan miskin jika ia mampu membawa uang Rp
54 juta dan 75 gram emas? Salah satu situs berita beberapa waktu
yang lalu memberitakan hal yang mencengangkan. Disebutkan bahwa Ketua
Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana I Wayan Windia menemukan
fakta mencengangkan soal pengemis di Kota Banjarmasin. Di kota itu,
pendapatan pengemis tiap bulannya diperkirakan mencapai Rp 2,5 juta per
bulan. Bahkan, Satpol PP Kota Banjarmasin kaget ketika menjaring
sepasang suami istri yang sehari-hari mengemis. Petugas menemukan
keduanya membawa uang sebanyak Rp 54 juta dan 75 gram emas.
Bahkan, salah satu daerah di Madura, ada sebuah desa yang terkenal
dengan sebutan desa pengemis karena sekitar 80% warganya berprofesi
sebagai pengemis. Nama desa itu adalah desa Pragaan.
Ketika masuk desa ini, jangan harap melihat pemukiman kumuh, rumah
beralaskan tanah, atau rumah sederhana dari susunan bambu. Di desa ini
sudah tidak asing lagi dengan rumah berukuran besar dan kokoh, yang
dilengkapi antena parabola, serta lantai keramik lengkap dengan berbagai
macam hiasan.
Dengan kondisi demikian, apakah mereka layak diberi harta zakat?
Ingat Kembali Delapan Golongan Yang Berhak Menerima Zakat
Realita di atas harus menjadi pertimbangan kita, apakah para pengemis
itu pantas mendapatkan harta zakat? Kalau pantas, lalu masuk kategori mana: fakir, miskin, amil, muallaf, riqaab, gharim, fi sabilillah, atau ibnu sabil?
Secara umum, masyarakat memandang pengemis adalah termasuk kaum fakir
atau miskin. Namun, apakah layak seorang dikatakan fakir jika ia mampu
membangun rumah berlantai keramik dan berparabola? Apakah layak
dikatakan miskin jika ia mampu membawa uang Rp 54 juta dan 75 gram emas?
Sesungguhnya, jika para pengemis itu fisiknya masih mampu dan kuat
untuk bekerja, mereka tidak layak menerima harta zakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.”لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
(H.R. Al-Baihaqi)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ“Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja-pen)”.
(H.R. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Pengemis Tetap Bisa Mendapatkan Bantuan
Jika uraian di atas menunjukkan bahwa ada sebagian pengemis yang
tidak layak diberikan harta zakat, di sisi lain kita juga perlu
mengingat bahwa memberikan bantuan sedekah terhadap pengemis termasuk
amal kebajikan yang diterangkan dalam Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman, yang artinya:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ باِللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَالْمَلَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّنَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقاَمَ الصَّلَوةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَآءِ وَالضَّرَّآءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al-Baqarah: 177)
Ayat di atas menunjukkan bahwa menyedekahkan harta kepada pengemis
termasuk amal kebajikan. Lalu, apakah ini kontradiksi dengan penjelasan
sebelumnya? Jawabannya, tidak. Ini karena zakat dan sedekah merupakan
hal yang berbeda. Zakat sudah ditentukan secara khusus penerimanya hanya
terbatas delapan golongan. Adapun sedekah, penyalurannya lebih longgar.
Sedekah bisa disalurkan kepada selain delapan golongan, semisal untuk
membangun fasilitas publik, renovasi masjid, termasuk untuk program
pembinaan masyarakat. Dengan demikian, sedekah dapat diberikan kepada
para pengemis pula. Bahkan, pengemis yang fisiknya masih kuat, tetap
bisa kita beri bantuan uang bukan zakat, sambil dinasihati agar
meninggalkan profesinya tersebut. Atau, diberikan uang pancingan modal
usaha agar ia bisa beralih kepada profesi yang produktif dan bermanfaat.
Orang yang menjadikan profesinya sebagai pengemis untuk memperkaya diri
sendiri, perlu diingatkan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barang siapa meminta minta harta kepada orang lain dalam rangka memperkaya diri sendiri, sebenarnya dia meminta untuk diberi bara api neraka. Maka, hendanya dia memperbanyak bara api yang dia kumpulkan atau mempersedikit.”
(H.R. Muslim)
Adapun jika pengemis tersebut memiliki -maaf- fisik
yang kurang sempurna (cacat) sehingga tidak memungkinan baginya untuk
bekerja, atau umurnya sudah tua renta, atau dari kalangan janda atau
wanita miskin yang tidak memiliki sanak kerabat yang membantunya,
merekalah yang baru layak diberikan zakat.
Wallahu a’lam.
Source : Peduli Muslim
0 comment:
Posting Komentar